Yoga Darśana
a. Pendiri dan Sumber Ajarannya
Kata Yoga berasal dari akar kata ‘yuj’ yang artinya menghubungkan. Yoga merupakan pengendalian aktivitas pikiran dan merupakan penyatuan roh pribadi dengan roh tertinggi. Hiraṇyagarbha adalah pendiri dari sistem Yoga. Yoga yang didirikan oleh Mahāṛṣi Patañjali, merupakan cabang atau tambahan dari bagi para siswa yang memiliki temperamen mistis dan perenungan. Ia menyatakan bersifat lebih orthodox dari pada filsafa Sāṁkhya, yang secara langsung mengakui keberadaan dari Makhluk Tertinggi (Ìśvara).
Tuhan menurut Patañjali merupakan Purūṣaistimewaatau roh khusus yang tak terpengaruh oleh kemalangan
kerja, hasil yang diperoleh dan cara perolehannya. PadaNya merupakan batas tertinggi dari benih kemahatahuan,
yang tanpa terkondisikan oleh waktu, merupakan guru bagi para bijak zaman dahulu. Dia bebas selamanya.
Suku kata suci OM merupakan simbol Tuhan. Pengulangan suku kata OM dan
bermeditasi pada OM, haruslah dilaksanakan, yang akan melepaskan segala halangan
dan akan membawa kepencapaian perwujudan Tuhan. Patañjali mendirikan sistem
filsafat ini dengan latar belakang metafisika Sāṁkhya dan menerima 25 prinsip atau
Tattva dari Sāṁkhya, tetapi menekankan pada sisi praktisnya guna realisasi dari
penyatuan mutlak Puruṣa atau Sang Diri.
Roh pribadi dalam sistem Yoga memiliki kemerdekaan yang lebih besar dan
dapat mencapai pembebasan dengan bantuan Tuhan. Sistem Yoga menganggap
bahwa konsentrasi, meditasi dan Samādhi akan membawa kepada Kaivalya atau
kemerdekaan. Menurut Patañjali, Tuhan adalah Purūṣa Istimewa atau roh khusus
yang tak terpengaruh oleh kemalangan, karma, hasil yang diperoleh dan cara
memperolehnya, pada-Nya merupakan batas tertinggi dari Kemahatahuan, yang tak
terkondisikan oleh waktu, yang selamanya bebas dan merupakan Guru bagi para
bijak zaman dahulu.
“Yoga Sūtra” dari Patañjali muncul sebagai buku acuan yang tertua dari aliran
filsafat Yoga, yang memiliki 4 Bab, yaitu:
1) Bab yang pertama yaitu Samādhi Pāda, memuat penjelasan tentang sifat dan
tujuan Samādhi.
2) Bab kedua yaitu Sādhanā Pāda, menjelaskan tentang cara pencapaian tujuan ini.
3) Bab ketiga, yaitu Wibhùti Pāda, memberikan uraian tentang daya-daya supra
alami atau Siddhi yang dapat dicapai melalui pelaksanaan Yoga.
4) Bab keempat yaitu Kaivalya Pāda, menggambarkan sifat dari pembebasan tersebut.
b. Pokok-Pokok Ajarannya
Yoga-nya Mahāṛṣi Patañjali merupakan Aṣṭāṅga-Yoga atau Yoga dengan delapan
anggota, yang mengandung disiplin pikiran dan tenaga fisik Haṭha Yoga membahas
tentang cara-cara mengendalikan badan dan mengatur pernapasan yang memuncak
dari Rāja Yoga. Sādhanā yang progresif dalam Haṭha Yoga membawa pada
keterampilan Haṭha Yoga. Haṭha Yoga merupakan tangga untuk mendaki menuju
tahapan puncak dari Rāja Yoga. Bila gerakan pernapasan dihentikan dengan
cara Kumbhaka, pikiran menjadi tak tertopang.
Pemurnian badan dan pengendalian pernapasan merupakan tujuan langsung dari
Haṭha Yoga. Śaṭ Karma atau enam kegiatan pemurnian badan antara lain Dhautī
(pembersihan perut), Bastī (bentuk alami pembersihan usus), Netī (pembersihan
lubang hidung), Trāṭaka (penatapan tanpa berkedip terhadap sesuatu objek), Naulī
(pengadukan isi perut), dan Kapālabhātì (pelepasan lendir melalui semacam Prāṇāyāma
tertentu). Badan diberikan kesehatan, kemudaan, kekuatan, dan kemantapan dengan
melaksanakan Āsana, bandha dan mudrā.
Yoga merupakan satu cara disiplin yang ketat, yang memberlakukan pengetatan
pada diet, tidur, pergaulan, kebiasaan, berkata, dan berpikir. Hal ini harus dilakukan
di bawah pengawasan yang cermat dari seorang Yogīn yang ahli dan memancarkan
sinar kepada Jīva. Yoga merupakan satu usaha sistematis untuk mengendalikan
pikiran dan mencapai kesempurnaan. Yoga meningkatkan daya konsentrasi, menahan
tingkah laku dan pengembaraan pikiran, dan membantu untuk mencapai keadaan
supra Ṣaḍar atau nirvikalpa samādhi.
Pelaksanaan Yoga melepaskan keletihan badan dan pikiran dan melepaskan
ketidakmurnian pikiran serta memantapkannya. Tujuan yoga adalah untuk
mengajarkan cara ātma pribadi dapat mencapai penyatuan yang sempurna
dengan Roh Tertinggi. Penyatuan atau perpaduan dari ātma pribadi dengan
Puruṣa Tertinggi dipengaruhi oleh Vṛtti atau pemikiran-pemikiran dari pikiran. Ini
merupakan suatu keadaan yang jernihnya seperti kristal, karena pikiran tak terwarnai
oleh hubungan dengan objek-objek duniawi.
Sistem filsafa Kapila adalah Nir-Ìśvara Sāṁkhya, karena di sana tak
ada Ìśvara atau Tuhan. Sistem Patañjali adalah Sa-Ìśvara Sāṁkhya karena
ada Ìśvara atau Puruṣa Istimewa di dalamnya, yang tak tersentuh oleh kemalangan,
kerja, keinginan, dsb. Patañjali mendirikan sistem ini pada latar belakang metafisik
dari Sāṁkhya. Patañjali menerima 25 prinsip dari Sāṁkhya. Ia menerima pandangan
metafisik dari sistem Sāṁkhya, tetapi lebih menekankan pada sisi praktis dari disiplin
diri guna realisasi dari penyatuan mutlak Puruṣa atau Sang Diri.
Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti | 135
Sāṁkhya merupakan satu sistem metafisika, sedangkan Yoga merupakan satu sistem
disiplin praktis. Yang pertama menekankan pada penyelidikan dan penalaran, sedang yang
kedua menekankan pada konsentrasi dari daya kehendak. Roh pribadi dalam Yoga memiliki
kemerdekaan yang lebih besar. Ia dapat mencapai pembebasan dengan bantuan Tuhan.
Sāṁkhya menetapkan bahwa pengetahuan adalah cara untuk pembebasan. Yoga
menganggap bahwa konsentrasi, meditasi, dan Samādhi akan membawa kepada Kaivalya
atau kemerdekaan. Sistem Yoga menganggap bahwa proses Yoga terkandung dalam
kesan-kesan dari keanekaragaman fungsi mental dan konsentrasi dari energi mental pada
Puruṣa yang mencerahi dirinya. Rāja Yoga dikenal dengan nama Aṣṭāṅga-Yoga atau Yoga
dengan delapan anggota, yaitu:
1) Yama, (larangan),
2) Niyama (ketaatan),
3) Āsana (sikap badan),
4) Prāṇāyāma (pengendalian nafas),
5) Pratyāhāra (penarikan indriya),
6) Dhāraṇa (konsentrasi),
7) Dhyāna (meditasi), dan
8) Samādhi (keadaan supra Ṣaḍar).
Kelima yang pertama membentuk anggota luar (Bahir-aṅga) dari Yoga, sedangkan
ketiga yang terakhir membentuk anggota dalam (Antar-aṅga) dari Yoga.
c. Penjelasan Rāja Yoga atau Aṣṭāṅga-Yoga
1) Yama dan Niyama
Pelaksanaan Yama dan Niyama membentuk disiplin etika, yang mempersiapkan
siswa-siswa Yoga untuk melaksanakan Yoga yang sesungguhnya. SiswaYoga hendaknya
melaksanakan tanpa kekerasan, kejujuran, pengendalian nafsu, tidak mencuri dan tidak
menerima pemberian yang mengantar pada kehidupan mewah; dan melaksanakan
kemurnian, kepuasan, kesederhanaan mempelajari kesucian dan berserah diri kepada
Tuhan. Siswa Yoga hendaknya melaksanakan:
a) Ahiṁsā atau tanpa kekerasan, yaitu jangan melukai makhluk lain baik dalam
pikiran atau pun perkataan. Perlakukanlah pihak lain seperti engkau ingin
memperlakukan diri sendiri.
b) Satya atau kebenaran dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan
c) Asteya atau pantang mencuri atau menginginkan milik orang lain
d) Bramacarya atau pembujangan dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan
e) Aparigraha atau pantang kemewahan yang melebihi apa yang diperlukan
Kelima pantangan ini merupakan sesuatu yang bersifat universal (mahāvrata)
atau sumpah luar biasa yang harus dipatuhi,tanpa alasan pengelakan berdasarkan Jati
(kedudukan pribadi), Deśa (tempat kediaman), Kāla (usia dan waktu) dan Samāyā
(keadaan). Ia harus dilaksanakan oleh semua orang, tak ada pengecualian terhadap
prisip-prinsip ini. Bahkan untuk membela diri melakukan pembunuhan tak dibenarkan
bagi seseorang yang sedang melaksanakan sumpah tanpa kekerasan ini. Ia hendaknya
tidak membunuh musuhnya sekalipun, apabila ia melaksanakan Yoga secara ketat.
Selanjutnya perincian Patañjali terhadap Niyama adalah :
a) Śauca (kebersihan lahir batin dan menganjurkan kebajikan)
b) Saṅtoṣa (kepuasan untuk memantapkan mental)
c) Tapa (berpantang atau pengetatan diri)
d) Svādhyāya (mempelajari naskah-naskah suci)
e) Īśvarapraṇidhāna (penyeraha diri kepada Tuhan)
2) Āsana, Prāṇāyāma dan Pratyāhara
Āsana merupakan sikap badan yang mantap dan nyaman. Āsana atau sikap
badan merupakan bantuan secara fisik untuk konsentrasi. Bila seseorang
memperoleh penguasaan atas āsana, ia bebas dari gangguan pasangan-pasangan
yang berlawanan. Prāṅāyāma atau pengaturan napas memberikan ketenangan dan
kemantapan pikiran serta kesehatan yang baik. Pratyāhara adalah pemusatan pikiran,
yaitu penarikan indra-indra dari objek-objeknya. Yama, Niyama, Āsana. prāṇāyāma,
dan Pratyāhara merupakan tambahan bagi Yoga.
3) Dhāraṇa, Dhyāna, dan Samādhi
Dhāraṇa, Dhyāna, dan Samādhi merupakan 3 tahapan berturut-turut dari proses
yang sama dari konsentrasi mental dan karena itu merupakan bagian dari keseluruhan
organ. Dhāraṇa adalah usaha untuk memusatkan pikiran secara mantap pada suatu
objek. Dhyāna merupakan pemusatan yang terus menerus tanpa henti dari pikiran
terhadap objek. Samādhi adalah pemusatan pikiran terhadap objek dengan intensitas
konsentrasi demikian rupa sehingga menjadi objek itu sendiri. Pikiran sepenuhnya
bergabung dalam penyamaan dengan objek yang dimeditasikan.
Saṁyama atau konsentrasi, meditasi dan samādhi merupakan hal yang sama dan
satu yang memberikan suatu pengetahuan dari objek supra alami. Siddhi merupakan
hasil sampingan dari konsentrasi yang sesungguhnya merupakan halangan terhadap
pelaksanaan samādhi atau kebebasan, yang merupakan tujuan dari disiplin Yoga
4) Yoga Samādhi dan Ciri-cirinya
Dhyāna atau meditasi memuncak dalam samādhi. Objek meditasi adalah Samādhi.
Samādhi merupakan tujuan dari disiplin Yoga. Badan dan pikiran menjadi mati
sementara sedemikian rupa terhadap semua kesan-kesan luar. Hubungan dengan dunia
luar lepas. Dalam samādhi, Yoga memasuki ketenangan tertinggi yang tak tersentuh
oleh suara-suara yang tak henti-hentinya dari dunia luar. Pikiran kehilangan fungsinya.
Indriya-indriya terserap ke dalam pikiran. Bila semua perubahan pikiran terkendalikan
si pengamat yaitu Puruṣa, terhenti dalam dirinya sendiri. Patañjali mengatakan hal
ini dalam Yoga Sūtra-nya sebagai Svarūpa Awasthānam (kedudukan dalam diri
seseorang yang sesungguhnya).
Ada jenis atau tingkatan konsentrasi atau samādhi, yaitu Saṁprajñata atau Ṣaḍar
dan Asaṁprajñata atau supra Ṣaḍar. Pada saṁprajñata samādhi, ada objek konsentrasi
yang pasti, di situ pikiran tetap Ṣaḍar akan objek tersebut. Savitarka (dengan
pertimbangan), nirvitarka (tanpa pertimbangan), savicāra (dengan renungan),
Nirvicāra (tanpa renungan), Sānanda (dengan kegembiraan) dan Sāsmita (dengan arti
kepribadian) adalah bentuk-bentuk dari Saṁprajñata samādhi. Dalam Saṁprajñata
samādhi ada kesaḍaran yang jernih tentang objek yang dimeditasikan, yang berada
dengan subjek. Dalam Asaṁprajñata samādhi, perbedaan ini lenyap dan menjadi
tersenden (terlampaui).
d. Kondisi Guna Berhasil dalam Rāja Yoga
Para calon spiritual yang menginginkan untuk mencapai perwujudan Tuhan
hendaknya melaksanakan kedelapan anggota Yoga ini. Pada penghancuran ketidakmurnian melalui pelaksanaan delapan anggota dari Yoga,muncullah sinar kebijaksanaan
yang membawa ke pengetahuan pembedaan. Guna mencapai Samādhi atau penyatuan
dengan Tuhan, pelaksanaan Yama dan Niyama merupakan suatu keharusan.
Siswa Yoga hendaknya melaksanakan Yama dan mematuhi Niyama secara
berdampingan. Tak mungkin mencapai kesempurnaan dalam meditasi dan Samādhi tanpa
berusaha melaksanakan Yama dan Niyama. Kamu tak dapat mengkonsentrasikan pikiran
tanpa melepaskan kepalsuan, kebohongan, kekezaman, nafsu dan sebagainya yang berada
di dalam. Tanpa konsentrasi pikiran, meditasi dan Samādhi tidak dapat dicapai.
e. Lima Tingkatan Mental Menurut Aliran Filsafat Patañjali
Kṣipta, Muḍha, Vikṣipta, Ekagra dan Niruddha, merupakan lima tingkatan
mental, menurut aliran Rāja Yoga dari Patañjali. Tingkatan Kṣipta adalah pada
saat pikiran mengembara diantara berbagai objek duniawi dan pikiran dipenuhi
dengan sifat Rājas. Tingkatan Muḍha, pikiran berada dalam keadaan tertidur dan
tak berdaya disebabkan sifat Tamas. Tingkatan Vikṣipta adalah keadaan pada saat
sifat Sattva melampaui, dan pikiran goyang antara meditasi dan objektivitas. Sinar
pikiran secara perlahan berkumpul dan bergabung. Bila sifat Sattva meningkat, akan
memiliki kegembiraan pikiran, pemusatan pikiran, penaklukan indriya-indriya dan
kelayakan untuk perwujudan ātman. Tingkatan ekagra adalah pada saat pikiran
terpusatkan dan terjadi meditasi yang mendalam sifat Sattva terbebas dari sifat Rājas
dan Tamas. Tingkatan niruddha adalah pada saat pikiran di bawah pengendalian yang
sempurna. Semua Vṛtti pikiran dilenyapkan.
Vṛtti merupakan kegoncangan atau gejolak pikiran dalam danaunya pikiran.
Setiap Vṛtti atau perubahan mental meninggalkan sesuatu saṁskāra atau kesankesan atau kecenderungan yang terpendam. Saṁskāra ini dapat mewujudkan
dirinya sebagai keadaan Ṣaḍar bila ada kesempatan. Vṛtti yang sama memperkuat
kecenderungan yang sama. Bila semua Vṛtti dihentikan, pikiran berada dalam
keadaan setimbang (Samāpatti). Penyakit, kelesuan, keragu-raguan, keletihan,
kemalasan, keduniawian, kesalahan pengamatan, kegagalan mencapai konsentrasi
dan ketidakmampuan ketika hal itu dicapai, merupakan halangan pokok untuk
konsentrasi.
f. Lima Kleśa dan Pelepasannya
Menurut Patañjali, avidyā (kebodohan), asmitā (keakuan), rāga-dveṣa
(keinginan dan antipati, atau suka dan tidak suka) dan abhiniweśa (ketergantungan
pada kehidupan duniawi) merupakan 5 kleśa besar atau mala petaka yang menyerang
pikiran. Ada keringanan dengan cara melaksanakan Yoga terus menerus, tetapi
tidak menghilangkan secara total. Mereka akan muncul lagi pada saat mereka
menemukan situasi yang menyenangkan dan menguntungkan. Tetapi Asaṁprajñata
samādhi (pengalaman mutlak) menghancurkan sekaligus benih-benih dari kejahatan
ini. Avidyā merupakan penyebab utama dari segala kesulitan. Keakuan merupakan
hasil langsung dari avidyā, yang memberi kita keinginan dan kebencian, serta
menyelubungi pandangan spiritual. Pelaksanaan yoga samādhi melenyapkan avidyā.
Kriyā Yoga memurnikan pikiran, melunakkan 5 kleśa dan membawa pada
keadaan samādhi. Tapas (kesederhanaan), svadhyāya (mempelajari dan memahami
kitab suci) dan Ìśvara-praṁidhāna (pemujaan Tuhan dan penyerahan hasilnya pada
Tuhan) membentukKriyā Yoga. Pengusahaan persahabatan (Maitrī)terhadap sesama,
kasih sayang (karuṇa) terhadap yang lebih rendah, kebahagiaan (mudita) terhadap
yang lebih tinggi, dan ketidakacuhan (upekṣā) terhadap orang-orang kejam
(atau dengan memandang sesuatu menyenangkan dan menyakitkan, baik dan
buruk) menghasilkan ketenangan pikiran (citta prasāda). Seseorang dapat
mencapai samādhi melalui kepatuhan pada Tuhan yang memberikan kebebasan.
Dengan Ìśvara-praṁidhāna, siswa yoga memperoleh karunia Tuhan.
Abhyāsa (pelaksanaan) dan Vairāgya (kesabaran, tanpa keterikatan) membantu
dalam pemantapan dan pengendalian pikiran. Pikiran hendaknya ditarik berkali-kali
dan dibawa ke pusat meditasi, apabila ia mengarah keluar menuju objek duniawi. Ini
merupakan abhyāsa yoga. Pelaksanaan menjadi mantap dan terpusatkan, apabila
secara terus menerus selama beberapa waktu tanpa selang waktu dan dengan penuh
ketaatan. Pikiran merupakan sebuah berkas Tṛṣṇa (kerinduan).
Pelaksanaan Vairāgya akan menghancurkan segala Tṛṣṇa. Vairāgya memutar
pikiran menjauhi objek-objek. Ia tidak mengijinkan pikiran untuk mengarah keluar
(kegiatan Bahirmukha dari pikiran), tetapi mengarahkannya ke kegiatan antarmukha (mengarah ke dalam).
Tujuan kehidupan adalah keterpisahan
mutlak dari Puruṣa terhadap Prakṛti.
Kebebasan dalam Yoga merupakan Kaivalya
atau kemerdekaan mutlak. Roh terbebas
dari belenggu Prakṛti. Puruṣa berada dalam
wujud yang sebenarnya atau svarūpa. Bila
roh mewujudkan bahwa hal itu adalah
kemerdekaan secara mutlak dan bahwa ia tak
tergantung pada sesuatu apa pun di dunia ini,
Kaivalya atau Pemisahan tercapai. Roh telah
melepaskan avidyā melalui pengetahuan
pembedaan (vivekakhyāti). Lima kleśa atau
malapetaka terbakar oleh apinya pengetahuan. Sang Diri tak terjamah oleh kondisi
dari citta. Guṇa seluruhnya terhenti dan sang Diri berdiam pada intisari Tuhan
sendiri. Walaupun seseorang menjadi mukta (roh bebas), Prakṛti dan perubahperubahannya tetap ada bagi orang lainnya. Hal ini, dalam perjanjian dengan sistem
filsafa Sāṁkhya, dipegang oleh sistem Yoga ini.